Sejak kecil aku menyukai dunia seni dan hal-hal berbau kreatif. Cita-citaku, kalau nggak jadi penulis ya ilustrator (baca: My Passion Story ) Berangkat dari hal itu, aku memilih jurusan seni sebagai pendidikan formalku. Selama ini aku cukup idealis dan ambisius dalam mengejar sesuatu. Di sekolah aku termasuk murid berprestasi. Aku senang ikut berbagai kompetisi dan sering memenangkan penghargaan. Aku juga berhasil mendapatkan beasiswa di kampus ternama yang menjadi impian banyak orang. Lalu, setelah lulus aku bekerja sebagai desainer grafis di sebuah perusahaan fashion, sesuatu yang memang aku inginkan selama ini. Tapi semuanya terhenti sejak aku punya anak. Aku merasa kehilangan banyak hal. Tidak adanya pencapaian membuatku merasa " unworthy ". Bisa dibilang itu menjadi salah satu titik terendahku (baca: Perjalanan Seorang Ibu Berdamai dengan Diri Sendiri ) Namun, di saat bersamaan, seolah Tuhan ingin memberitahuku, bahwa hidup tidak sekedar mengejar nilai dan angka-an
Selama ini kita mengenal Hanung
dengan film-filmnya yang komersil. Tapi lebih dari itu aku tau sebenarnya Hanung adalah sutradara yang idelis. Hanya saja idealisme itu seringkali
terbentur oleh kepentingan banyak pihak. Entah produser, selera pasar, dan
masih banyak faktor lain. Film ini membuktikan bahwa penantianku terhadap karya
idealis hanung tidaklah sia-sia. Ia berhasil menunjukan siapa ia sebenarnya. Terlihat
betul bagaimana Hanung menggarap film ini dengan sepenuh hati. Nggak berlebihan
jika aku menyebut ini sebagai salah satu film terbaik yang pernah ia buat.
Hal pertama yang membuatku
terpikat adalah sinematografinya. Jika selama ini kita mengenal puisi dalam
bentuk tulisan. Film mampu menerjemahkan puisi dalam bentuk visual. Bagaimana
hal-hal yang sebenarnya sederhana terlihat sangat puitis dibalik lensa kamera.
Dari segi cerita pun cukup
menarik. Tapi aku nggak mau terlalu banyak spoiler di sini. Secara garis besar film ini menceritakan tentang seorang penulis bernama Tiana yang memutuskan untuk pergi ke
Jogja untuk menyelesaikan novel terbarunya. Iapun ia bertemu dengan sang
pemilik kos yang ia sewa bernama Harun yang ternyata seorang tunanetra. Dari
situlah hubungan Tiana dan Harun dimulai. Kesamaan nasib membuat mereka saling
terikat satu sama lain. Namun kemudian muncul Arie, sahabat masa kecil Tiana yang tiba-tiba melamar Tiana. Konflikpun dimulai. Jika kalian mengira ini kisah tentang cinta segitiga. Hmm.. nggak sepenuhnya salah.
Tapi ada hal yang lebih dari itu. Hal yang lebih mendalam. Walaupun endingnya nggak
terlalu bikin aku kaget sih. Karena beberapa tahun lalu aku pernah menulis
novel dengan cerita yang kurang lebih sama seperti ini. Bagiku daya tarik cerita
film ini justru terletak pada awal-awal pertemuan Tiana dengan Harun. Juga
bagaimana cerita tentang masa lalu Tiana yang kelam diurai perlahan. Justru
bagian-bagian inilah yang bikin aku nggak bisa menahan air mata. Aku seperti
melihat sosok Tiana dalam diriku sendiri beberapa tahun lalu. Yang memilih
untuk menciptakan ‘realita’ sendiri untuk lari dari realita yang sebenarnya.
Untuk pemain, kayaknya nggak perlu
diragukan lagi. Semuanya aktor dan aktris sudah sangat mumpuni di bidangnya. Harun,.
Aku nggak bisa bayangin jika tokoh Harun, seorang tunanetra yang menutup diri
dari dunia luar, temperamental dan keras kepala ini diperankan oleh orang lain.
Pemilihan karakter Reza sebagai Harun udah paling tepat. Ayushita juga sangat
cocok memerankan sosok Tiana, seorang novelis yang unik, aneh dan siapa sangka ternyata
memiliki masa lalu yang kelam. Begitupun dengan Dion Wiyoko sebagai Arie.
Meski tidak seistimewa karakter Harun dan Tiana namun perannya pas. Belum lagi
karakter-karakter figuran seperti simbok dan beberapa pembantu di rumah Harun yang
tampak luwes dengan logat jawanya. Sepertinya mereka adalah pemain teater atau
ketoprak yang memang udah punya jam terbang tinggi.
Biasanya aku cukup rewel jika ada
film yang mengambil setting kota Jogja. Maklum aku orang Jogja asli, suka
greget kalau ngelihat ada yang janggal dikit. Banyak film yang menjadikan Jogja
cuma sekedar tempelan. Selebihnya tokohnya tetep aja ke Jakarta-Jakartaan. Paling
cuma ngomongnya yang dimedhokin, itupun nggak enak didengar. Tapi kalau
Hanung yang menggarapnya, aku nggak khawatir. Dari film-film sebelumnya ia
selalu mampu menghadirkan Jogja yang apa adanya. Begitupun di film ini,
atmosfir jogjanya sangat terasa sekaligus natural. Tentu karena Hanung
memiliki latar belakang pernah tumbuh dan besar di kota ini.
Meski secara keseluruhan kualitas
film ini diatas rata-rata, tapi aku nggak terlalu menggebu ingin merekomendasikan
film ini ke semua orang. Karena di beberapa adegan terdapat unsur surealisnya, antara
imajinasi Tiana dan realita. Beberapa part sengaja dibiarkan tidak diberi
batasan secara gamblang. Bagi penonton yang tidak biasa dengan film semacam ini
mungkin akan sedikit bingung. Tapi buatku sendiri, itu nggak masalah. Justru aku
seneng karena film ini tidak seperti kebanyakan film konvensional yang terlalu
memanjakan penonton, seolah segala sesuatu harus diceritakan dengan gamblang.
Sebaliknya, film ini memberi ruang kepada penonton ikut berpikir, berimajinasi
dan menginterpretasikan sendiri inti ceritanya. Sah-sah saja jika kemudian akan
menimbulkan banyak tafsir.
Tapi untuk kalian yang satu
selera denganku. Atau bosan dengan kisah drama yang dangkal dan itu-itu saja.
Udah saatnya kalian harus nonton film ini. Ceritanya mendalam dan membekas
di hati. Bagiku sendiri, rasanya nggak cukup nonton sekali doang. The Gift berhasil mengemas kesedihan dalam
bentuk yang sangat indah dan puitis. Aku berharap Hanung bisa lebih banyak lagi
membuat karya semacam ini ke depannya.
Sepertinya layak ditonton ya filmnya, Mba ;)
BalasHapusYeepp! Pastinya dong
HapusAku kayak mbak, suka cerita yg gak semuanya harus diuraikan dg gamblang. Tp, bgmna ada unsur2 yg penonton/pembaca dapat mngintepretasikan sendri sesuai imanjinasinya masing2.
BalasHapussayangnya nggak banyak film indonesia yang begitu :-(
Hapusjadi penasaran pengen nonton...
BalasHapuscuusss... mumpung masih ada di bioskop
HapusWell, the choice is relative to particular person style, so why not just enjoy each of the options made out there at Betiton™? Here 퍼스트카지노 are the pros and cons of the live and digital format of roulette. The proof is in the pudding, as they are saying, and here at Betiton™, might have} one of the best online roulette UK gamers may want to expertise.
BalasHapusEven at 9 o’clock this morning because of these bonus bets… I’ve already put my $150 on the first three races already… And if that loses, then I’m in the same old spiral that I’m in every single day. 온라인카지노 I definitely signed as much as} websites 100 percent based mostly on seeing new ones pop up ...I go, ‘Shit, I haven’t joined that one. Thurston, the recovering gambler, stated his drive to gamble started as early as age 10 or 11, when he hustled pool games for $5 or $10 a rack in suburban Detroit. BetMGM provides similar cautions about accountable gamling on its site, whereas touting its efforts to promote awareness of problem gambling. “I was still betting, end result of|as a result of} I always thought I was going to win it again,” he stated. Las Atlantis has been registered and licensed with the Curacao Gaming Authority.
BalasHapus