Langsung ke konten utama

Istri Pengen Self Care VS Suami yang Nggak Peka

Aku tergelitik untuk nulis ini karena baca salah satu komentar di Instagramku, yang ngebahas tentang pentingnya para ibu meluangkan waktu untuk self care ( Tonton di sini ).  Kalo ditanya, pasti semua ibu pengen self care -an. Tapi realitanya, boro-boro, mau self care gimana? Udah repot duluan ngurus anak. Belum lagi kalo suami nggak peka 😢  Kayaknya sangat mewakili ibu-ibu banget yaa. Angkat tangan kalo relate ! 🤭 Emang ya, Bun. Setelah punya anak, apalagi masih kecil, mau nyuri waktu self care tuh "menantang" banget. Padahal itu salah satu kebutuhan dasar supaya kita bisa recharge energi. Makanya, penting banget peran suami di sini untuk gantiin take care anak atau bantu pekerjaan rumah selama kita self care . Tapi, banyak istri yang ngerasa suaminya nggak peka, nggak mau bantu.  Tau nggak, kalo sebenarnya kebahagiaan tertinggi seorang laki-laki adalah ketika ia bisa membahagiakan pasangannya. Boleh di kroscek ke suami masing-masing, apa definisi kebahagiaan bagi mere

My Passion Story (Part 1)

Source: Pinterest

Aku termasuk salah satu orang yang udah tahu passionku sejak kecil. Jauh sebelum aku mengenal kata passion itu sendiri. Dari passion itulah yang akhirnya mempengaruhi banyak keputusan dalam hidupku hingga sekarang. Seperti ketika memilih jurusan kuliah, pekerjaan bahkan pasangan hidup.

Sebenernya aku punya banyak passion. Dan hampir semuanya berkaitan dengan dunia seni (Padahal nggak ada darah seni dari kedua orang tua. Nggak tahu kalau dari kakek nenek moyang) Diantara semua itu, ada dua hal yang paling menonjol, yaitu menggambar dan menulis. Untuk menggambar akan kubahas lain waktu ya. Kali ini aku mau khusus membahas proses menulisku dari yang tadinya sekedar hobby hingga menjadi passion (Harapannya sih, suatu saat bisa jadi profesi juga. Hehe)

Sebelumnya aku mau cerita dulu, bahwa kegiatan menulis nggak bisa lepas dari hobiku membaca. Dari kecil aku emang udah suka banget membaca. Tiap ikut ibu ke pasar, selain minta jajan mie krip-krip aku juga suka minta dibelikan komik donald bebek atau majalah Bobo bekas yang dijual di pasar. Di lingkungan SD, aku bergaul dengan teman-teman yang juga hobby membaca. Beberapa diantara mereka orangtuanya adalah guru yang sadar akan pentingnya mengenalkan buku pada anak-anaknya. Nggak heran koleksi buku temen-temenku banyak. Dari merekalah aku mendapat pinjaman buku-buku menarik yang semakin menambah kecintaanku terhadap buku.

Kira-kira kelas 4 SD aku mulai menyisihkan uang jajanku untuk membeli majalah Bobo (Tetep ortu sih yang lebih banyak nombokin.. Haha). Kali ini bukan lagi majalah bekas. Hari kamis adalah hari yang paling kutunggu-tunggu, karena hari itulah majalah Bobo terbit. Jika agen koran langgananku kebetulan sedang tutup, aku nggak segan mendatangi rumahnya untuk segera mendapatkan majalah tersebut. Kalau Bobo udah di tangan rasanya lega dan happpy banget! Selain suka dengan illustrasinya yang khas, artikelnya juga menarik. Aku sampai terinspirasi untuk bikin majalah sendiri ketika itu. Kalau jaman sekarang, istilahnya zine (aku baru tahu belum lama ini dari sebuah akun instagram). Aku membuat majalah itu dari kertas HVS yang kupotong menjadi beberapa bagian. Di situ aku membuat cover dari gambaranku sendiri. Tulisannya juga kutulis sendiri secara manual. Isinya macam-macam. Persis seperti rubrik-rubrik yang ada di majalah. Malahan ada surat pembaca segala, padahal yang nulis aku sendiri, yang jawab aku sendiri juga. Hahaa.. Zineku emang nggak untuk kuedarkan dan cuma untuk kunikmati sendiri.

Masih ketika SD aku sempet bikin perpustakan mini sama seorang sahabat karibku. Kami bikin lapak di depan warung kelontong milik ibu temanku. Dengan kardus-kardus bekas sebagai rak dan mejanya. Anggota perpustakaan tak lain adalah teman-teman sepermainan di komplek kami. Kadang ada juga pembeli di warung yang tergelitik untuk mampir ke perpustakaan kami hingga akhirnya tertarik meminjam buku. Kami memasang tarif yang murah untuk setiap peminjaman. Ada sistem denda juga jika ada anggota yang telat mengembalikan. Sayangnya perpustakaan itu akhirnya bubar ketika aku harus pindah rumah saat kelas 5 SD.

Beranjak SMP aku mulai mengenal istilah sahabat pena. Awalnya aku iseng aja kirim surat ke majalah remaja 'Fantasi' untuk nyari sahabat pena. Setelah suratku dimuat, respon yang kudapat bener-bener di luar dugaanku. Hampir setiap hari aku mendapat kiriman surat yang dialamatkan ke sekolah. Biasanya surat-surat yang datang akan dipajang di jendela ruang TU. Ketika itu, surat yang datang hampir memenuhi jendela TU dan semuanya ditujukan untukku. Mendadak aku punya banyak teman dari berbagai daerah di Indonesia. Meski jaman sekarang udah maju, alat komunikasi udah canggih, aku tetep ngrasa nggak ada yang bisa menggantikan kebahagiaan surat menyurat seperti ini. Ada sensasi tersendiri ketika surat balasan yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Melihat kertas surat warna-warni yang lucu, dengan wangi yang berbeda-beda. Membaca deretan tulisan tangan berisi cerita-cerita dari sahabat di seberang pulau sana. Meski kami belum pernah bertemu, tapi segalanya terasa akrab dan personal. Berbeda dengan email atau chatting, di surat aku cenderung lebih bebas untuk bercerita hingga tak jarang bisa menghabiskan berlembar-lembar kertas surat. Hal itu secara tidak langsung juga turut melatih kemampuanku bercerita dalam bentuk tulisan.


Tentu aja seneng punya banyak sahabat pena. Namun lama kelamaan aku jadi kewalahan juga membalasi surat-surat yang begitu banyak. Belum lagi biaya untuk memberi perangko. Satu dua sih nggak masalah, tapi kalau sampai puluhan jumlahnya, habis juga uang sakuku cuma untuk beli perangko. Aku juga nggak enak terus-terusan minta uang tambahan ke ortu. Jadi terpaksa nggak semua surat bisa kubalas. Tapi dari situ aku sekaligus bisa menyaring mana sahabat pena yang bener-bener cocok denganku. Ada satu sahabat yang bahkan masih bertahan hingga kami sama-sama duduk di bangku SMA.

Selain menulis surat, ketika SMP aku juga sudah mulai suka menulis cerita. Dari cerita pendek, hingga pernah juga novel. Semua kutulis secara manual di buku tulis. Namun aku hanya menjadikannya sebagai koleksi pribadi. Ya, waktu itu aku bener-bener menjadikan kegiatan menulis sekedar untuk kesenangan pribadi aja, tanpa berniat mempublishnya.

Memasuki bangku SMK, seperti umumnya remaja seusiaku, akupun mulai dilanda yang namanya virus merah jambu. Kayaknya hampir tiada hari tanpa galau. Siapa lagi kalau bukan gara-gara gebetan yang sekarang udah jadi suamiku. Haha... Akupun melampiaskan semua kegalauanku di buku diary. Sebenernya nulis diary bukan hal baru buat aku. Dari SD hingga SMP aku udah konsisten nulis diary. Bedanya, kalau dulu aku lebih banyak cerita secara kronologis, misalnya: Hari ini aku.... bla.. blahh.., waktu SMK aku lebih banyak curhat gak jelas. Sampai-sampai aku eneg sendiri kalau baca lagi tulisanku dulu.

Tapi sejelek apapun itu, aku sangat menghargai apa yang pernah aku tulis karena itu semua bagian dari proses. Pernah denger enggak tentang istilah 'menulis bebas'? Tulis aja sebebas-bebasnya, nggak perlu mikir bagus atau jelek, yang penting kita bisa menuangkan apa yang ada dipikiran kita sampai benar-benar habis. Mungkin awalnya tulisan kita memang jelek. Tapi jika rajin berlatih, lama-lama kata dalam tulisan kita akan tersaring dengan sendirinya sehingga yang tersisa adalah kalimat-kalimat yang bagus. Hal itu bener-bener aku rasain. Secara nggak sadar, nulis diary melatihku untuk menulis bebas tanpa beban. Bodo amat mau bagus atau jelek, toh aku sendiri yang baca.

Sampai akhirnya kesempatan itu datang juga. Saat aku duduk di bangku kelas 2, aku ditunjuk untuk mewakili sekolah untuk mengikuti program kelas menulis di Balai Bahasa Yogyakarta. Inilah titik awal aku mempelajari dunia kepenulisan secara lebih serius. Perjalananku sempet terhambat. Tadinya aku ditunjuk untuk mengikuti kelas non fiksi. Padahal aku pengen banget ikut kelas fiksi/sastra. Akhirnya aku ngeloby temenku. Untung dia bersedia bertukar tempat denganku dan guru juga menyetujuinya. Ya, di situ aku udah tahu apa keinginanku dan mencoba berjuang meraihnya. Keputusanku untuk pindah kelas ternyata tepat banget. Aku mendapatkan materi sesuai keinginanku. Mentornya pun bukan orang sembarangan, mereka adalah sastrawan-sastrawan senior yang tentunya sangat berkompeten di bidangnya. Tak hanya diajari menulis, aku juga belajar teater. Yang mana teater sangat berkaitan erat dengan dunia kepenulisan. Di situ aku bisa berlatih mengolah rasa dan penjiwaan sehingga apa yang kutulis bisa lebih memiliki 'nyawa'.

Setelah mengenal sastra, selera bacaanku pun mulai berubah. Novel pop dan teenlit yang biasanya jadi bacaan favoriteku selama ini jadi terasa hambar untuk dibaca. Aku ingin sesuatu yang lebih mendalam. Lalu bertemulah aku dengan majalah Horison. Ternyata majalah sastra ini udah ada lama di perpustakaan sekolah, tapi aku nggak gitu ngeh dengan keberadaannya. Letaknya aja ngumpet di rak pojok belakang. Dan kayaknya, selain aku nggak ada lagi yang pinjem. Soalnya di kertas daftar peminjamannya masih bersih, cuma ada namaku doang. Nggak tau ya, tiap baca majalah ini selalu ada yang berdesir di dadaku. Hmmm.. aku susah ngejelasinya. Pokoknya sesuatu yang nggak pernah aku rasain ketika membaca buku-buku populer.  

Waktu kuliah, aku semakin tertarik membaca karya-karya sastra secara lebih mendalam. Mulai dari buku puisi Rendra yang bahasanya gampang dimengerti, Sapardi Djoko Damono dengan kata-katanya yang sangat lembut dan indah, hingga kumpulan cerpen Putu Wijaya yang surealis, semuanya bikin terpukau. Tak hanya membaca, aku juga mulai belajar menulis karya yang sejenis. Dulu aku sempet ikut komunitas menulis dan membaca puisi di radio RRI. Dari situ aku mulai banyak berkenalan dengan beragam komunitas sastra yang lain. Aku juga rutin mengikuti diskusi sastra di Jogja. Banyak sastrawan _yang selama ini cuma kulihat namanya dari buku-buku yang kubaca_ ikut hadir di sana. Semangatku pun jadi terpacu. Intinya, masa kuliah adalah masa yang paling progresif untuk menekuni dunia kepenulisan. Di sini aku berhasil melahirkan novel, dan antologi. Beberapa kali juga tulisanku dimuat di media masa. Dan yang paling berkesan adalah aku sempat menjuarai lomba menulis puisi. Sekian tahun bergelut di bidang animasi, ternyata piala pertamaku justru kudapat dari menulis.


Lalu aku pindah ke Bandung untuk melanjutkan kuliah ekstensi. Semenjak di Bandung kegiatan menulisku menurun drastis. Bikin blogpun jarang kuisi. Di sini aku juga kesulitan mendapat akses buku. Berbeda dengan di Jogja dulu, hampir tiap minggu aku bisa menghabiskan banyak waktu di perpustakaan kota. Tempatnya nyaman banget sih. Kalau di Bandung aku nggak tau dimana. 

Lebih parah lagi ketika aku udah mulai bekerja. Aku hampir nggak pernah nulis lagi. Bukan berarti di dalam hati udah nggak ada keinginan untuk menulis. Tapi rasanya energi udah habis untuk pekerjaan. Kebetulan aku ini termasuk orang yang nggak bisa multitasking. Ketika sedang mengerjakan sesuatu, ya udah, aku cuma bisa fokus untuk satu hal itu aja. Dan saat itu aku lebih fokus dengan pekerjaanku. 

But now.. Here I am! Gimana sih rasanya bertahun-tahun memendam keinginan untuk menulis lagi dan akhirnya baru kesampaian sekarang? Buatku menulis udah jadi kebutuhan. Apalagi aku tipe orang yang lebih mudah bicara dengan tulisan dibanding dengan kata-kata langsung. Dan peran blog buatku menjadi penting banget. Sama seperti buku diary. Bedanya aku bisa sekalian share hal-hal positif ke orang lain yang membacanya.  Blog udah ibarat rumah, sekaligus penghubungku dengan dunia luar. Aku bisa cerita apa aja tanpa ngeganggu timeline orang lain. Dan yang nggak kalah penting di sini aku ngrasa menemukan pembaca yang tepat. Apalagi di tengah boomingnya media yang lebih praktis seperti youtube dan instagram. Orang yang baca blog setidaknya sama-sama punya hobby membaca juga sepertiku.

Itu tadi sedikit (banyak kalee..) cerita tentang passion menulisku. Semua itu nggak datang secara tiba-tiba melainkan sebuah proses panjang dari aku masih kecil. Tentunya ada waktu dimana aku merasa sangat jenuh untuk menulis, tapi bukan passion namanya kalau aku nggak kembali lagi. Kapan-kapan aku sambung lagi dengan cerita tentang passionku yang lain yaa. Happy weekend, See u..


Komentar

  1. Wah menarik sekali kak, Aku bisa cerita apa aja tanpa ngeganggu timeline orang lain likethis

    BalasHapus
  2. Setuju. Nulis d blog itu lebih menarik drpd menulis d media sosial lain, tanpa sering buat spam buat orang lain. Dan lagi kita bs memfilter apa yg hendak kita tulis shg mjd tulisan yg layak dibaca. Berbeda dg media sosial yg cenderung bersifat spontanitas bg penggunanya dalam menulis shg seringkali yg tertulis itu spam dan gak perlu untuk dibaca orang lain. Blog memang pnya kesan sendiri.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Istri Pengen Self Care VS Suami yang Nggak Peka

Aku tergelitik untuk nulis ini karena baca salah satu komentar di Instagramku, yang ngebahas tentang pentingnya para ibu meluangkan waktu untuk self care ( Tonton di sini ).  Kalo ditanya, pasti semua ibu pengen self care -an. Tapi realitanya, boro-boro, mau self care gimana? Udah repot duluan ngurus anak. Belum lagi kalo suami nggak peka 😢  Kayaknya sangat mewakili ibu-ibu banget yaa. Angkat tangan kalo relate ! 🤭 Emang ya, Bun. Setelah punya anak, apalagi masih kecil, mau nyuri waktu self care tuh "menantang" banget. Padahal itu salah satu kebutuhan dasar supaya kita bisa recharge energi. Makanya, penting banget peran suami di sini untuk gantiin take care anak atau bantu pekerjaan rumah selama kita self care . Tapi, banyak istri yang ngerasa suaminya nggak peka, nggak mau bantu.  Tau nggak, kalo sebenarnya kebahagiaan tertinggi seorang laki-laki adalah ketika ia bisa membahagiakan pasangannya. Boleh di kroscek ke suami masing-masing, apa definisi kebahagiaan bagi mere

Kota Mini Lembang, Destinasi Wisata Instagramable yang Nggak Sekedar buat Foto-Foto Cantik

Tempat wisata di Lembang emang nggak pernah ada habisnya. Belum tuntas mengunjungi satu tempat wisata, udah bermunculan lagi tempat wisata lain yang tentunya menambah daftar panjang keinginan untuk main ke Lembang. 

Review Softlens New More Dubai (Honey Brown)

Sebagai penderita mata minus aku jarang banget memakai softlens. Aku lebih memilih pakai kacamata untuk sehari-hari karena nggak ribet, dan hanya memakai softlens untuk event tertentu saja seperti kondangan atau acara spesial lain. Kebetulan bulan ini banyak banget undangan nikahan. Jadi aku memutuskan untuk beli softlens lagi. Walau hanya perintilan kecil aku ngerasa ini ngaruh banget untuk penampilanku keseluruhan. Meski baju dan dandanan udah cantik, kalau pakai kacamata tuh rasanya kurang perfect aja gitu.