Sejak kecil aku menyukai dunia seni dan hal-hal berbau kreatif. Cita-citaku, kalau nggak jadi penulis ya ilustrator (baca: My Passion Story ) Berangkat dari hal itu, aku memilih jurusan seni sebagai pendidikan formalku. Selama ini aku cukup idealis dan ambisius dalam mengejar sesuatu. Di sekolah aku termasuk murid berprestasi. Aku senang ikut berbagai kompetisi dan sering memenangkan penghargaan. Aku juga berhasil mendapatkan beasiswa di kampus ternama yang menjadi impian banyak orang. Lalu, setelah lulus aku bekerja sebagai desainer grafis di sebuah perusahaan fashion, sesuatu yang memang aku inginkan selama ini. Tapi semuanya terhenti sejak aku punya anak. Aku merasa kehilangan banyak hal. Tidak adanya pencapaian membuatku merasa " unworthy ". Bisa dibilang itu menjadi salah satu titik terendahku (baca: Perjalanan Seorang Ibu Berdamai dengan Diri Sendiri ) Namun, di saat bersamaan, seolah Tuhan ingin memberitahuku, bahwa hidup tidak sekedar mengejar nilai dan angka-an

Baiq sebagai penulis cerita punya alasan tersendiri kenapa ia sampai memilih Iqbal, bukan yang lain.
Tapi aku
kembali kecewa setelah melihat triler yang sudah dirilis. Iqbal kelihatan
kurang menjiwai karakter Dilan. Beberapa dialog yang diucapkannya terasa kaku.
Kayak lagi baca text, nggak ada nyawanya. Itulah yang bikin aku nggak terlalu kepengen nonton film Dilan. Takut kecewa. Apalagi aku
masih trauma gara-gara film zonk yang kutonton sebelumnya. (Baca: http://isykasyukriya.blogspot.co.id/2018/01/review-ayat-ayat-cinta-2-rip-logic.html )
Berawal dari acara
keluyuran di siang bolong. Ceritanya sih pengen cari suasana baru buat nulis, biar
nggak jenuh di kosan terus eh ternyata malah enggak bisa konsen nulis. Banyak
banget anak SMA keluar masuk gedung bioskop (Kebetulan letaknya deket dengan tempatku
nongkrong saat itu). Banyak diantara mereka yang asyik ngomongin Dilan. Lama-lama
aku terhasut juga, dan langsung beli tiketnya.
Trus gimana
setelah nonton? Apa film ini bener-bener gagal? Nggak sesuai ekspektasi? Jawabannya
NO! Malahan aku lebih bisa menikmati film daripada novelnya. Selain karena bisa
lihat chemistry Iqbal dan Vanessa, film ini juga didukung oleh visual dan sound
efek yang oke. Sangat membantu untuk membangun suasana. Nuansa 90an cukup
bisa kurasakan. Mulai dari rumah-rumah lawas, perabotan, style fashion hingga
detail-detail seperti kado yang dibungkus dengan koran, coklat dengan merk jadul,
angkot yang tulisannya diganti ala-ala 90an, jalanan Bandung yang masih sepi. Detail-detail
kayak gitu yang bikin aku terkesan, dan langsung nostalgia ke jaman kecil dulu.
Salut deh sama team produksinya. Enggak mudah loh, menyulap kota Bandung yang modern
ini menjadi ala-ala 90an.
Untuk peran
Dilan, seperti dugaanku dialog-dialog yang diucapkan masih terdengar kurang
natural. Tapi emang nggak mudah sih memerankan Dilan. Di novel kan juga memang
seperti itu gaya bahasanya Dilan, baku, tidak seperti bahasa yang digunakan sehari-hari.
Kecuali kalau gaya bahasanya sedikit diubah, agar bisa lebih luwes untuk diucapkan.
Tapi resikonya, feel dari gombalan-gombalan ajaib Dilan mungkin nggak kan terasa
sekuat di novel. Meski begitu, aku cukup surpised ngelihat beberapa adegan
seperti ketika Dilan berantem dan marah. Iqbal cukup berhasil keluar dari dari
image cute yang selama ini membuat banyak orang khawatir. Aku juga suka banget
ketika beberapa kali Iqbal nyeletuk dengan bahasa Sunda. Lebih natural dan kelihatan
ekspresinya dibanding ketika sedang ngegombal. Apalagi ketika lomba cerdas
cermat. Itu asalah satu adegan favoritku. Di situ aku bisa ngelihat kombinasi unik
dari karakter seorang Dilan yang bandel, lucu sekaligus charming (Dan senyumnya
Iqbal itu loh bikin pengen nyubit).
Untuk karakter
Milea, aku nggak kan banyak ngebahas. Aku yakin sebagian besar dari kita pasti
setuju Vanessa sangat cocok memerankan tokoh Milea. Milea ini adalah gadis cantik
dan kuat. Vannesa mampu memerankannya dengan pas. Aktingnya nggak lebay (Akan
jauh berbeda dengan aku seandainya dianugrahi kecantikan seperti dia, mungkin
akan sedikit overacting)
O iya, ada
walikota Bandung tercinta, loh, pak Ridwan Kamil ikut berperan sebagai guru di
sini. Sayang banget kemunculannya cuma beberapa menit doang sebagai cameo. Padahal
aku masih pengen ngelihat akting kocak beliau lebih banyak lagi.
Dari segi
cerita, sebenarnya sederhana. Tidak ada konflik yang terlalu hiperbolis seperti
film-film remaja jaman sekarang. Tapi justru itulah yang kusuka dari film ini. Lebih
relatable sama kehidupan kita. (Ada adegan dimana teman-teman Milea datang ke rumah
Milea dan dijamu dengan buah jambu biji. Simply thing but nostalgic. Jadi
keinget jaman sekolah, suka main ke rumah temen trus metikin jambu biji bareng-bareng di rumahnya. Ups!)
Dibanding
cerita, tokoh Dilan yang menjadi daya tarik utama film ini. Nggak heran, deh
kalau belakangan sosmed kita ramai dengan gombalan-gombalan Dilan. (Malah jangan-jangan
nanti ada yang jual kerupuk Dilan segala) Sayang, karakter Dilan yang unik ini
tidak didukung dengan latar belakangnya yang memadahi. Kenapa bisa unik seperti itu? Apakah sifatnya menurun dari orang tuanya? Bagaimana pola
asuhnya? Kenapa dia suka berantem? Kurang tergambarkan dalam film.
Selebihnya film
ini oke banget, sukses bikin aku senyum-senyum sendiri begitu keluar dari
bioskop. Dan rada baper juga sih karena nggak ngajak pasangan (Sementara penonton lain yang kebanyakan anak SMA dateng berpasang-pasangan).
Trus kalau ditanya, kira-kira nanti mau nonton
nggak kelanjutannya, Dilan 1991? Absolutley yes. I can’t wait for it!
Iya nih, aku amaze bisaan rim produksi bikin setingan 90annya. Walau rada bocor dikit, sih hahaha. Gaya bahasa Dilan emang aneh, ya. Tapi itu yang bikin unik.
BalasHapusBetul bangeett.. Brhasil lh pkoknya bikin baper cewek2
HapusKubelum nonton kak baca novelnya juga belum hahah
BalasHapusJgn nonton kak nnti baper 😅 Aq baru baca novel pertamanya
Hapus