Sejak kecil aku menyukai dunia seni dan hal-hal berbau kreatif. Cita-citaku, kalau nggak jadi penulis ya ilustrator (baca: My Passion Story ) Berangkat dari hal itu, aku memilih jurusan seni sebagai pendidikan formalku. Selama ini aku cukup idealis dan ambisius dalam mengejar sesuatu. Di sekolah aku termasuk murid berprestasi. Aku senang ikut berbagai kompetisi dan sering memenangkan penghargaan. Aku juga berhasil mendapatkan beasiswa di kampus ternama yang menjadi impian banyak orang. Lalu, setelah lulus aku bekerja sebagai desainer grafis di sebuah perusahaan fashion, sesuatu yang memang aku inginkan selama ini. Tapi semuanya terhenti sejak aku punya anak. Aku merasa kehilangan banyak hal. Tidak adanya pencapaian membuatku merasa " unworthy ". Bisa dibilang itu menjadi salah satu titik terendahku (baca: Perjalanan Seorang Ibu Berdamai dengan Diri Sendiri ) Namun, di saat bersamaan, seolah Tuhan ingin memberitahuku, bahwa hidup tidak sekedar mengejar nilai dan angka-an
Memutuskan untuk berhenti kerja di tengah
karier yang menjanjikan bukanlah hal mudah. Banyak juga yang menyayangkan
kenapa harus berhenti. Bagiku, yang terpenting aku tahu apa yang benar-benar
kuinginkan. Dengan pekerjaan yang kujalani, tidak terbayang bagaimana rasa
bersalahnya, ketika suami masih di rumah, pagi-pagi aku harus berangkat kerja
lebih dulu. Ketika suami pulang kerja, aku belum tiba di rumah karena masih
menyelesaikan pekerjaan kantor. Belum lagi jika nanti sudah punya anak. Aku
pernah dengar cerita dari seorang teman kantor. Sebagai wanita karier, pada
suatu titik dia merasakan penyesalan. Oh ternyata anakku sudah bisa begini,
sudah bisa begitu. Oh, tiba-tiba udah besar aja. Banyak fase perkembangan anak
yang terlewat sehingga dia sendiri terkejut dengan apa yang telah dicapai anaknya.
Aku tidak ingin hal serupa terjadi padaku. Sejak lama memang aku sudah berniat
untuk berhenti bekerja setelah menikah nanti. Kebetulan suami sangat mendukung. Pekerjaannya sebagai pengajar
membuatnya sering 'dicurhati' murid-murid. Ia tahu bagaimana kesedihan
anak-anak yang kedua orang tuanya sibuk bekerja dan bagaimana dampaknya
terhadap anak tersebut. Kami berharap semoga nantinya bisa mencurahkan kasih
sayang secara penuh dengan mengurus anak-anak sendiri, tanpa bantuan pengasuh.
Lalu apakah mimpiku terhenti sebagai ibu
rumah tangga saja? Tentu tidak. Berhenti berkarier bukan berhenti berkarya.
Menikah tidak berarti mimpi kita selesai. Justru ini awal dari mimpi-mimpi
selanjutnya. Sejak menjadi ibu rumah tangga, aku jadi punya lebih banyak waktu
untuk menekuni hobi menulis lagi, dan juga hobi-hobi lain yang sempat terhenti
karena kesibukan kerja. Waktunya bisa kuatur dengan fleksibel sehingga aku tetap
bisa menjalankan kewajiban utamaku sebagai seorang istri. Meski sehari-hari
hanya di rumah, menjalani hidup dengan passion waktu akan terasa cepat dan
menyenangkan.
Memang tidak bisa dipungkiri, pemasukan
jadi berkurang drastis. Dari yang biasanya menerima gaji sendiri tiap bulan. Sekarang
hanya bisa mengandalkan gaji suami. Itupun harus dibagi-bagi, untuk belanja
bulanan, membayar kos dan menyisihkan sedikit tabungan masa depan. Namun justru
di moment inilah aku benar-benar merasakan keajaiban menikah. Dulu sebelum
menikah, uang habis begitu saja. Banyak sekali pengeluaran untuk hal-hal yang tidak
penting. Nongkrong di cafe lah, jajan ini itu, belanja baju dan masih banyak
lagi. Namun sekarang, aku bisa jauh lebih berhemat. Gimana nggak hemat coba, jatah
uang untuk sekali makan di luar, bisa untuk makan kami berdua sehari di rumah.
Sejak menikah aku memang jadi rutin
memasak. Bekal untuk suami juga aku siapkan sendiri (Beruntung punya suami yang
nggak pernah malu bawa bekal tiap hari ke kantor, malahan sering minta dibawain.
Jadi semangat bikinnya)
Lagi pula rejeki nggak melulu soal uang.
Contohnya tadi, menyiapkan bekal, menyambut suami pulang kerja dengan masakan
bikinan sendiri, melihat suami makan dengan lahap, itu juga rejeki yang luar
biasa. Hal yang mungkin nggak bisa selalu dilakukan jika aku tetap berkarier di
luar sana.
Bagi seorang istri, keluarga harus jadi
prioritas utama. Bukan sebaliknya. Kesuksesan istri bukan diukur dari seberapa
hebat kariernya, tapi bagaimana suami dan anak-anak bisa sukses karenanya.
Subhanallah aku jadi semangat lagiπ
BalasHapusYeiiyy... ada temennya ππ
Hapus