Belum pernah Malioboro kurasa seindah ini
Depan pasar Klithikan:
Debu-debu mengkristalkan rindu. Tumpahkanlah dari
bejana hatimu. Aku berdiri di sini untukmu
Sepanjang Malioboro:
Aku penari. Tanpa gemerincing gelang dan selendang.
Hanya debar menjadi irama. Rona merah terpulas sempurna di muka. Tarianku
adalah langkah kakimu. Dalam gemulai jemari, kutarikan kata hati. Tersembunyi
tanpa kau tau. Gedung dingin melirikmu cemburu. Wahai lelaki, hendak kau culikk
ke mana gadis kami?
Vedebrug:
Kau masih pelangi. Meski tanpa gerimis dan senja telah
lewat. Di antara berjuta jiwa, kucari lagi binarnmu. Ketemu! Berbatas tipis di
garis mimpi. Kau lelaki, kenapa tertunduk malu? Nikmati saja gejolak jiwa dan
debarannya. Lelaplah dalam euforia tanpa kata. Dunia
bisu tetap milik kita.
Depan BI seperti biasa:
Jam waktu yang menggantung di dinding langit berkali
berisyarat. Siap menghujamkan perisai kedua di antara kita. Tak jerakah kau
tanggung sesal setahun? Sekarang untuk entah. Meski panas meranggas sukma, dan
tubuh di lumpuh malu, tak jugakah ingin kau ungkap kata yang tersembunyi dari
balik gelisahmu?
Pada akhirnya di ujung penantian terlama:
Lampu-lampu kota menjalma
cahaya malaikat. Tanpa kedipan menyaksikan tangan kita
bersentuhan. Lembut tanganmu dan dinginnya logam. Kudekap liontinmu di dada.
Kita berbalik muka, beradu punggung. Tanpa mampu kuhitung satu detikpun. Tanpa
mata bertautan. Tanpa kau tau butir kaca tersudut di kelopakku. Terbayar lunas
segala luka. Tertembus katup relung rindu dan ragu. Terjawab semua tanya.
Lalu seketika kita terjebak dalam dejavu masa lalu.
Dewa yang berkuasa atasmu. Kau pelangi. Maka kewajibanku menyaksikanmu pergi.
Ya, secepat ini. Aku menengadah. Mengharap
sinarmu kembali melengkung di langit kotaku
(Juni 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar