Hari Jumat minggu lalu menjadi
salah satu hari paling kelabu dalam hidupku. Laptopku nggak mau nyala meski sudah dicolokin kabelnya dan dipencet-pencet
tombol powernya. Seharian itu aku nggak bisa ngapa-ngapain. Nyawaku ada di
laptop itu. Aku sempat minta pertolongan ke teman yang pinter ngutak-atik
komputer. Kupikir hanya perlu instal ulang, tapi ternyata nggak berhasil. Keesokaannya
kupriksakan laptop q itu ke BEC. Ternyata, kata mas tukang servis, ada masalah
dengan VGAnya sehingga terpaksa harus diservis. Untunglah, laptopku masih bisa
terselamatkan, hanya saja aku harus merelakan uang lima ratus ribu melayang
karenanya. Ternyata masalahnya cukup sepele. Aku memakai u-buntu dan windows 7
sekaligus. Apalagi u-buntu sebenarnya nggak cocok diinstal di laptop, terlalu
berat. Kapasitasnya nggak sememadahi mac atau PC. Hiks, seandainya aku tahu
dari dulu, semua ini takkan terjadi. Tapi nggak papa, ini pelajaran berharga. Buat yang belum nyoba, jangan pernah coba di rumah ya.!
Jumat, 27 Januari 2012
Kamis, 19 Januari 2012
Menjelajah Kota Tua, Braga

Rabu, 11 Januari 2012
Tentang Pelangi Kecilku
Aku membaca senja yang hilang di matamu
Siapa sembunyikan tarian tujuh rupa
bidadari?
Sekeping mozaik diasingkan waktu
Pelangi kecilku meniup tujuh cahaya lilin
Itulah tonggak habisnya segala pelita jiwa
Adalah sekedar dalih darah yang mengaliri
nadi
Sebab hulunya telah ditanam benci
Dua pasang mata dulu singgah dalam bahtera
Pelangi kecilku bertanya:
Apakah detak yang mereka cipta bagian dari
prosesi
dan bukan pernyataan cinta?
Masih lekat semalam ibunda berbisik
mantera manis bungabunga mimpi
Selalu
Ia latah di akhir kisah
“Dan akhirnya mereka hidup bahagia
selamanya”
Rupanya dinding mulai jemu
mengendapkan kebohongan
Dinihari retak menyemburkan lukaluka
karatan
Angin sibuk merekam makian
Embun saling bentur berdenting
jatuh di kelopak yang terpejam ketakutan
Pelangi kecilku menepi di sudut rumah
kematiannya
demi tak ingin lagi melihat kasih sayang
demi tak mau dengar ketukan ayah ibu pulang
Katanya:
Pagi ini aku terbangun dan kudapati jejak
kaki
mengarah pada dua belantara berbeda
Aku adalah anak yang lahir dari tekateki
dan akan tetap tumbuh bersamanya!
Kekasih
Aku tiba di depan pintu yang kau pagari
Sungguh
Takkan kutinggalkan engkau hanya karena itu
Sebab nestapa telah tersemat layaknya
cincin di jari manis kita
2009
Dunia Bisu 2
Belum pernah Malioboro kurasa seindah ini
Depan pasar Klithikan:
Debu-debu mengkristalkan rindu. Tumpahkanlah dari
bejana hatimu. Aku berdiri di sini untukmu
Sepanjang Malioboro:
Aku penari. Tanpa gemerincing gelang dan selendang.
Hanya debar menjadi irama. Rona merah terpulas sempurna di muka. Tarianku
adalah langkah kakimu. Dalam gemulai jemari, kutarikan kata hati. Tersembunyi
tanpa kau tau. Gedung dingin melirikmu cemburu. Wahai lelaki, hendak kau culikk
ke mana gadis kami?
Vedebrug:
Kau masih pelangi. Meski tanpa gerimis dan senja telah
lewat. Di antara berjuta jiwa, kucari lagi binarnmu. Ketemu! Berbatas tipis di
garis mimpi. Kau lelaki, kenapa tertunduk malu? Nikmati saja gejolak jiwa dan
debarannya. Lelaplah dalam euforia tanpa kata. Dunia
bisu tetap milik kita.
Depan BI seperti biasa:
Jam waktu yang menggantung di dinding langit berkali
berisyarat. Siap menghujamkan perisai kedua di antara kita. Tak jerakah kau
tanggung sesal setahun? Sekarang untuk entah. Meski panas meranggas sukma, dan
tubuh di lumpuh malu, tak jugakah ingin kau ungkap kata yang tersembunyi dari
balik gelisahmu?
Pada akhirnya di ujung penantian terlama:
Lampu-lampu kota menjalma
cahaya malaikat. Tanpa kedipan menyaksikan tangan kita
bersentuhan. Lembut tanganmu dan dinginnya logam. Kudekap liontinmu di dada.
Kita berbalik muka, beradu punggung. Tanpa mampu kuhitung satu detikpun. Tanpa
mata bertautan. Tanpa kau tau butir kaca tersudut di kelopakku. Terbayar lunas
segala luka. Tertembus katup relung rindu dan ragu. Terjawab semua tanya.
Lalu seketika kita terjebak dalam dejavu masa lalu.
Dewa yang berkuasa atasmu. Kau pelangi. Maka kewajibanku menyaksikanmu pergi.
Ya, secepat ini. Aku menengadah. Mengharap
sinarmu kembali melengkung di langit kotaku
(Juni 2009)
Narasi Laut
Kami tiba di negeri dongeng,
Sebuah negeri yang pernah moyang tuturkan
lewat aroma hutan
masa silam
Kaki menyentuh langit
Angin pecah di dada
tak pelak
membuncahkan rasa yang telah bemukim lama
Kau percaya
tak ada jarak yang menjadi jarak
Dalam sebuah prosesi
aku menyaksikan
Laut mengharu biru dipeluk
gunung
Layaknya rindu menahun
yang musti dituntaskan
usai pengembaraan jauh
Dengan kesetiaan abadi
ombak mengikis keangkuhan
Awan rebah di atas pepasir basah
lebur bersama tarian ikan-ikan kecil
menjadi buih
memercik di tubuhku
Lantas,
kenapa tidak
kubentang layar
Mendayung seiring doa-doa panjang
Suatu hari
perahuku
akan tiba
di hatimu
(Yogya, juni 2010)
Obituari, di Depan Pusara Tahun
Tuan ,
semalam kita menyaksikan
detik-detik renta tergelincir dalam pusara
Kurenggut pekat langit
dengan percik api yang kutuai dari dadamu
Kuserahkan nadiku yang
tandus untuk kau aliri darah
agar jelaga di jariku luruh menjadi
bait-bait bersayap
Ini upacara kematian
Dan kita merayakannya dengan
tambur seperti sepasang mempelai
Ah, bukankah air mata adalah
keranda bagi tubuhnya sendiri?
Aku telah berhenti merawat
luka
Semoga waktu tak lagi risau
dengan benih musim dalam
rahim
Tuan, ada cincin di tubuh
purnama!
(Januari 2010)
Langganan:
Postingan (Atom)
KitaBeli, Solusi Belanja Aman, Mudah dan Murah dari Rumah
Semenjak diberlakukannya PPKM, mau ke mana-mana semakin susah. Selain harus membawa surat vaksin, nggak semua tempat mengijinkan anak dibawa...

-
Menjadi ibu ternyata nggak seindah apa yang ditampilkan di feeds Instagram. Saking repotnya ngurus anak, diri sendiri jadi nggak keu...
-
Sebagai penderita mata minus aku jarang banget memakai softlens. Aku lebih memilih pakai kacamata untuk sehari-hari karena nggak ribet, ...