Angin kerontang memungut sepotong awan
Kepak burung hitam
tumbang menampar terik
Kaoknya parau
bagai sayatan sabit malaikat
Liang semut telah berabad lalu ditinggal penghuni
rengkah
di balik ilalang kering
Sepasang kaki menjejak
pusara sejarah tanpa kamboja
Lahat menganga
risau menunggu kematian
melenggang tanpa wujud
Di dinding batu yang gelap dan dingin
tangan gaib merangkai ceceran huruf berkabung
Amitbha Aksobya Vajrapani Manjusri
Diakah Bodhisattva yang bersimpuh
menahan perginya sang Budha?
Arca bergelimpangan tanpa kepala
Oh, pembantaian semalam menyisakan
anyir darah
dan desir kekosongan
Aku Pramudya Wardani
Putri Samaratungga!
Kutebar kuncup melati di atas jasadku
Agar semerbak lesap dalam kalbu kekasih
Ingatkah ketika kau letakkan gelora di pucuk-pucuk perwara?
Dua kerajaan langit bertikai
menghunus pedang ke jantung kita
Air mata telah mensucikan kenangan
Musykil sirna sekalipun pahatan kisah runtuh
bersetubuh puing ganjil
Kelelawar berhambur dengan tengkuk merinding
Suara gemuruh terpantul di lorong sunyi
“Plaosan, lambang cinta abadi!”
Minggu, 11 Desember 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
KitaBeli, Solusi Belanja Aman, Mudah dan Murah dari Rumah
Semenjak diberlakukannya PPKM, mau ke mana-mana semakin susah. Selain harus membawa surat vaksin, nggak semua tempat mengijinkan anak dibawa...

-
Menjadi ibu ternyata nggak seindah apa yang ditampilkan di feeds Instagram. Saking repotnya ngurus anak, diri sendiri jadi nggak keu...
-
Sebagai penderita mata minus aku jarang banget memakai softlens. Aku lebih memilih pakai kacamata untuk sehari-hari karena nggak ribet, ...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar