Sejak kecil aku menyukai dunia seni dan hal-hal berbau kreatif. Cita-citaku, kalau nggak jadi penulis ya ilustrator (baca: My Passion Story ) Berangkat dari hal itu, aku memilih jurusan seni sebagai pendidikan formalku. Selama ini aku cukup idealis dan ambisius dalam mengejar sesuatu. Di sekolah aku termasuk murid berprestasi. Aku senang ikut berbagai kompetisi dan sering memenangkan penghargaan. Aku juga berhasil mendapatkan beasiswa di kampus ternama yang menjadi impian banyak orang. Lalu, setelah lulus aku bekerja sebagai desainer grafis di sebuah perusahaan fashion, sesuatu yang memang aku inginkan selama ini. Tapi semuanya terhenti sejak aku punya anak. Aku merasa kehilangan banyak hal. Tidak adanya pencapaian membuatku merasa " unworthy ". Bisa dibilang itu menjadi salah satu titik terendahku (baca: Perjalanan Seorang Ibu Berdamai dengan Diri Sendiri ) Namun, di saat bersamaan, seolah Tuhan ingin memberitahuku, bahwa hidup tidak sekedar mengejar nilai dan angka-an
Perempuan itu tertatih,mendekap bayi merah
Mata lantang menatap kota tujuan
Meski tak sempat sembunyikan pasi wajah
Belum kering darah di antara dua betisnya
menggenangi jalan raya
Sayap-sayap kuyup tak sempat terpungut
malaikat terhenyak, lupa menutup mulut
mereka urung menyematkan doa di ubun-ubun jabang
petaka si bapa lebih dulu menyerang
Masih lekat lebam disekujur tubuh
Juga rahim istri yang remuk oleh murka
Mengapa harus lahir bayi-bayi perempuan
Yang hanya akan pandai bergincu
Sementara langit mulai doyong
Dan tangan yang semula kekar
Terlampau keriput menyangga langit
Dalam genggaman,
tangan mungil bocah ingusan
Di hati terbesit tanya, mau ke mana
Ini kota begitu asing
Terali di segala penjuru mata angin
Mengapa amat kelam
Rumah jembatan dan gedung berwarna ungu
Mengingatkannya pada lapar yang menggerus lambung sejak semalam
Orang lalulalang dengan punggung ditumbuhi gerigi mesin
seperti boneka
yang selama ini ia idamkan
Matahari memar
Di depan pertokoan perempuan berhenti berjalan
Tangannya tabah mengetuk satu pintu
Engkau musti belajar mengeja degup jantung
Aku menandai luka, yang akan menuntun bila kau rindu pulang
sebab tau bayi merah akan hilang,
ditelan riuh bibir merancau mimpi
maka ditancapkannya rusuk ke dalam hati
menanam ari-ari
tak lama
seorang keluar
melempar setumpuk uang
Bocah ingusan terbata
Tiba-tiba adik perempuannya
terpajang di etalase
seperti boneka
dengan tunas-tunas angka mengerikan tumbuh cepat
merayap dari balik punggung
dengan mata menyala
Perempuan segera membawa sulung pergi. pulang kepada nasib. Namun langkahnya kian tertatih. Baut mulai rontok dari kakinya. Jari-jari menjadi sebentuk kumparan kawat. Dadanya menjelma lempengan besi. dengan kabel berjuntai. mengeluarkan asap.
Ada pekik memecah kota
Kelopak bunga berguguran dari ceruk mata
April 2010
Mata lantang menatap kota tujuan
Meski tak sempat sembunyikan pasi wajah
Belum kering darah di antara dua betisnya
menggenangi jalan raya
Sayap-sayap kuyup tak sempat terpungut
malaikat terhenyak, lupa menutup mulut
mereka urung menyematkan doa di ubun-ubun jabang
petaka si bapa lebih dulu menyerang
Masih lekat lebam disekujur tubuh
Juga rahim istri yang remuk oleh murka
Mengapa harus lahir bayi-bayi perempuan
Yang hanya akan pandai bergincu
Sementara langit mulai doyong
Dan tangan yang semula kekar
Terlampau keriput menyangga langit
Dalam genggaman,
tangan mungil bocah ingusan
Di hati terbesit tanya, mau ke mana
Ini kota begitu asing
Terali di segala penjuru mata angin
Mengapa amat kelam
Rumah jembatan dan gedung berwarna ungu
Mengingatkannya pada lapar yang menggerus lambung sejak semalam
Orang lalulalang dengan punggung ditumbuhi gerigi mesin
seperti boneka
yang selama ini ia idamkan
Matahari memar
Di depan pertokoan perempuan berhenti berjalan
Tangannya tabah mengetuk satu pintu
Engkau musti belajar mengeja degup jantung
Aku menandai luka, yang akan menuntun bila kau rindu pulang
sebab tau bayi merah akan hilang,
ditelan riuh bibir merancau mimpi
maka ditancapkannya rusuk ke dalam hati
menanam ari-ari
tak lama
seorang keluar
melempar setumpuk uang
Bocah ingusan terbata
Tiba-tiba adik perempuannya
terpajang di etalase
seperti boneka
dengan tunas-tunas angka mengerikan tumbuh cepat
merayap dari balik punggung
dengan mata menyala
Perempuan segera membawa sulung pergi. pulang kepada nasib. Namun langkahnya kian tertatih. Baut mulai rontok dari kakinya. Jari-jari menjadi sebentuk kumparan kawat. Dadanya menjelma lempengan besi. dengan kabel berjuntai. mengeluarkan asap.
Ada pekik memecah kota
Kelopak bunga berguguran dari ceruk mata
April 2010
Komentar
Posting Komentar