Sejak kecil aku menyukai dunia seni dan hal-hal berbau kreatif. Cita-citaku, kalau nggak jadi penulis ya ilustrator (baca: My Passion Story ) Berangkat dari hal itu, aku memilih jurusan seni sebagai pendidikan formalku. Selama ini aku cukup idealis dan ambisius dalam mengejar sesuatu. Di sekolah aku termasuk murid berprestasi. Aku senang ikut berbagai kompetisi dan sering memenangkan penghargaan. Aku juga berhasil mendapatkan beasiswa di kampus ternama yang menjadi impian banyak orang. Lalu, setelah lulus aku bekerja sebagai desainer grafis di sebuah perusahaan fashion, sesuatu yang memang aku inginkan selama ini. Tapi semuanya terhenti sejak aku punya anak. Aku merasa kehilangan banyak hal. Tidak adanya pencapaian membuatku merasa " unworthy ". Bisa dibilang itu menjadi salah satu titik terendahku (baca: Perjalanan Seorang Ibu Berdamai dengan Diri Sendiri ) Namun, di saat bersamaan, seolah Tuhan ingin memberitahuku, bahwa hidup tidak sekedar mengejar nilai dan angka-an
Baju itu ibu sulam benang asa
Jarum dibayar di muka
Hutang dianggap tiada
Disucikannya malam hari dengan air relung hati
Di kedalaman sumur doa bunda tetap terjaga
Biar Ma, baju itu kutulisi cerita
Akan kudongengkan pada anakku
Biar Ma, pabrik tekstil itu nanti aku yang punya
Kau mau berapa? Sejuta?
Kubuatkan baju yang sama
Tapi izinkan
Izinkan kukabarkan pada jalan-jalan
Agar mereka yang beku aturan turut merayakan kemenangan
Selusin tahun terpasung di balik bangku membosankan
saatnya lepas sangkar
Jalanan!
Lihat sebiji angka di jidatku bersinar-sinar
Walau kalau kau jeli akan nampak agak karatan
Cukup itu perlu kau tau, mohon lainnya dirahasiakan
Telah dimerdekakan kebodohan
(atau kemerdekaan yang dibodohkan?)
Kusandang predikat palsu,
aku masih musuh ilmu, buta aksara, moral juga
Seperti bangsa barbar
kita belajar cara menghidupi nafsu yang hampir tewas terkapar
Jalanan
Tempat meniti mimpi
namun ananda lupa
juga tempat menata nisan
Lupakan cita-cita menjadi penguasa berdasar hukum rimba
Sempatkah menolak? Pilihan kedua telah dijatuhkan
Ananda pulang ditutup kafan
Kembali dicuci baju anaknya di muara air mata
Namun tak juga hilang putih abu, biru, merah tua
Baju penuh noda luka-luka bunda
Tetap disimpannya dalam kotak mustika
Layaknya lembaran buku cerita
Berkisah sepanjang malam
sebagai pengantar tidur bunda
hingga akhir hayatnya
Juni 2009
Jarum dibayar di muka
Hutang dianggap tiada
Disucikannya malam hari dengan air relung hati
Di kedalaman sumur doa bunda tetap terjaga
Biar Ma, baju itu kutulisi cerita
Akan kudongengkan pada anakku
Biar Ma, pabrik tekstil itu nanti aku yang punya
Kau mau berapa? Sejuta?
Kubuatkan baju yang sama
Tapi izinkan
Izinkan kukabarkan pada jalan-jalan
Agar mereka yang beku aturan turut merayakan kemenangan
Selusin tahun terpasung di balik bangku membosankan
saatnya lepas sangkar
Jalanan!
Lihat sebiji angka di jidatku bersinar-sinar
Walau kalau kau jeli akan nampak agak karatan
Cukup itu perlu kau tau, mohon lainnya dirahasiakan
Telah dimerdekakan kebodohan
(atau kemerdekaan yang dibodohkan?)
Kusandang predikat palsu,
aku masih musuh ilmu, buta aksara, moral juga
Seperti bangsa barbar
kita belajar cara menghidupi nafsu yang hampir tewas terkapar
Jalanan
Tempat meniti mimpi
namun ananda lupa
juga tempat menata nisan
Lupakan cita-cita menjadi penguasa berdasar hukum rimba
Sempatkah menolak? Pilihan kedua telah dijatuhkan
Ananda pulang ditutup kafan
Kembali dicuci baju anaknya di muara air mata
Namun tak juga hilang putih abu, biru, merah tua
Baju penuh noda luka-luka bunda
Tetap disimpannya dalam kotak mustika
Layaknya lembaran buku cerita
Berkisah sepanjang malam
sebagai pengantar tidur bunda
hingga akhir hayatnya
Juni 2009
Komentar
Posting Komentar